KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DAN STATUS GIZI BALITA UMUR 24 -59 BULAN DI KELURAHAN PANNAMPU KECAMATAN TALLO KOTA MAKASSAR TAHUN 2012
ABSTRACT
Food security
is a fulfillment condition
of food for
households, which reflected
from availability of
adequate food, both quantity and quality, safe, equitable and affordable.
This study is a descriptive study which located
in Pannampu Village ,
Tallo district, Makassar.
The results using the Score Diversified Food
(SDP) showed that as many as 40 households (44%) are classified as
food resistant, and
51 households (56%) classified as not resistant food. Meanwhile, according to Hope Food Pattern
(PPH), there are 17
households (18.7%) categorized as ideal and
74 households (81.3%) were considered ideal. Nutritional
status of children under five Weight
Loss by Height (BB/TB) average normal
nutritional status of infants that as many as 81 infants (89%),
1 children under five (1.1%) nutritional status
of fat, 8 infants
(8.8%) nutritional status is considered underweight,
and one of
children under five (1.1%), nutritional
status is very thin.More
nutritional status of children under five are underweight according to indicators of BB/TB on
the status of the household can not stand the food based
on SDP status that is equal to 11.8% compared
with infants who
are at household food
stand at 5%, and
each of 2 % lean and fat nutritional
status on the
status of the household does not
hold food while
according to the status of PPH,
there were 9.5% underweight
children under five nutritional status at household
conditions are not ideal compared to households
with an ideal condition that is equal to 5.9%, and each of 1.4%. Nutritional
status of under five
is very skinny
and fat at
the ideal home.This study shows that
the availability and access of
food
is an indirect factor
that can affect
the nutritional status of children.
Keywords: Food Security, Diversification Score Food,
Food Patterns of
Hope, Nutritional Status of Children Under Five
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pangan
dan gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam membentuk kualitas sumber
daya manusia. Gizi seseorang sangat tergantung dari kondisi pangan yang
dikonsumsinya. Pada tingkat keluarga, status gizi anak balita dipengaruhi oleh
kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan yang cukup, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Anak balita merupakan kelompok masyarakat yang sangat peka
terhadap masalah ketahanan pangan. Status gizi anak balita merupakan salah satu
indikator yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan (Tobing, 2010).
Ketahanan pangan pada tataran
nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya
memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga
halal yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman
sumber daya domestik (Departemen Pertanian, 2005).
|
mencapai 1989 kkal (90,4% dari
kecukupan). Sementara untuk protein terjadi kelebihan dalam ketersediaan, yaitu
76,4 gram dan rata – rata konsumsi melebihi angka kecukupan yaitu sebesar 55,37
gram (110,70%). Menurut rekomendasi WKNPG VIII tahun 1998, kecukupan energi
sebesar 2200 kkal dan protein 50 gram
(Tobing, 2010).
Jumlah balita di Indonesia yang mengalami gizi buruk
dan gizi kurang pada tahun 2003 mencapai 27,5% dari total jumlah balita. Pada tahun 2004 mencapai 19,37% dari total
jumlah balita. Pada tahun 2005 sebanyak 73.041 kasus balita yang mengalami gizi
buruk diseluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 2.580 balita mengalami marasmus, 88
mengalami kwashiorkor, 140 mengalami marasmus kwashiorkor, serta sebanyak
70.203 mengalami kasus gizi non klinis. Data menyebutkan bahwa, pada tahun
2003 sebanyak 5 juta anak Balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5
juta (19,2%) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%)
sisanya mengalami gizi buruk. Data dari Departemen
Kesehatan menyebutkan, pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3% kabupaten dan
56% kota di Indonesia (Tobing, 2010).
Hadi (2005) menjelaskan bahwa, prevalensi gizi kurang
mengalami kenaikan setelah krisis multidimensi
masing-masing 26.1%, 27.3% dan 27.5% pada tahun 2001, 2002, dan 2003.
Departemen Kesehatan kemudian mempublikasikan data resmi status gizi
melalui profil kesehatan Indonesia tahun 2007
masing-masing gizi buruk, kurang, baik dan lebih adalah 8.8%, 19.24%, 68.48%,
dan 3.48%. artinya jika digabung antara gizi buruk dan gizi kurang maka
prevalensi kurang gizi (malnutrition) akan menjadi 28.04%. Dengan demikian, kurva malnutrition di
Indonesia terus mengalami kenaikan dari 26,1% tahun 2001 menjadi 28.45 tahun
2007 selama 7 tahun.
Kasus
gizi buruk hampir tejadi disetiap Kabupaten dan
Kota di Indonesia yaitu 110 Kabupaten/Kota dari 440 Kabupaten/Kota di Indonesia
dengan prevalensi di atas 30%. Data yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar tahun 2010, ditemukan gizi
buruk 3,07% balita. Sementara balita yang mengalami gizi kurang sebanyak 14,54%
balita.
Kondisi
gizi buruk berpotensi terhadap angka kematian. Hal ini
dilihat dari tingginya jumlah kasus gizi buruk yang
meninggal di Indonesia selama tahun 2005 yaitu 286 balita. Angka ini
diperkirakan lebih tinggi dari yang sebenarnya karena data ini berdasarkan
laporan yang terdata dari 7 propinsi. Kasus-kasus kematian balita akibat gizi
buruk yang tidak dilaporkan diyakini masih banyak (Aminuddin, 2006).
Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menempatkan kota Makassar
pada urutan 4 dalam persentase gizi buruk (BB/U) dengan 6,4%, sedangkan
persentase gizi buruk di Sulsel hanya
5.4%. Berdasarkan indikator TB/U juga ditemukan 16.8% anak sangat pendek
sedangkan di tingkat Sulsel hanya 13.9%, demikian juga menurut indikator BB/TB
kota Makassar dengan persentase sangat kurus 7.4% sedangkan Sulsel hanya 5.7%
(Balitbangkes RI, 2008).
Hasil riset kesehatan dasar tahun 2010 ditemukan anak balita yang
menderita gizi kurang dan buruk sebanyak 17.9%, balita yang kurus dan sangat
kurus sebanyak 13.3%, serta balita yang pendek dan sangat pendek sebanyak 35,6% (Balitbangkes
RI, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Martianto dkk pada
tahun 2008 di Kabupaten Timor Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan
bahwa, ditemukan prevalensi balita underweight
berdasarkan indeks BB/U (WAZ) adalah sebesar 62,7%, berdasarkan indeks TB/U
(HAZ), prevalensi stunting (total)
adalah 68,8 persen dan rata – rata Z-Skor TB/U sebesar 2,7, berdasarkan
indikator BB/TB (WHZ), prevalensi wasting
(total) didaerah penelitian ini adalah 24% dengan rata – rata Z-Skor BB/TB
adalah -1,2. Aksesibilitas fisik dan aksesibilitas ekonomi terkendala oleh
kurangnya sumber penghasilan dari sektor penelitian dan sektor lainnya serta
jauhnya pasar dari lingkungan tempat tinggal. Ketersediaan pangan di keluarga sangat
tergantung pada hasil panen. Masa tanam dilakukan satu kali dalam setahun
karena curah hujan yang rendah dan tidak ada irigasi teknis.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Tambunan
di Kecamatan Pintupohan Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa, tingkat ketahanan pangan keluarga secara
kualitatif, sebagian besar berada pada kategori rawan dengan kelaparan tingkat
berat. Ketahanan pangan kuantitatif menunjukkan tingkat konsumsi energi 60,8%
dalam kategori kurang dan defisit dan tingkat konsumsi protein keluarga
sebagian besar (90,2%) berada dalam kategori kurang dan defisit. Status gizi
anak balita berdasarkan BB/U, TB/U, BB/TB, sekitar 40% berada dalam kategori
status gizi buruk.
Prevalensi anak balita underweight
dan stunting pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan di Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah (47.3%
dan 67.0%) paling tinggi dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (42.1%
dan 56.8%) dan rumah tangga tahan pangan (3.3% dan 36.6%). Uji ANOVA
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks
BB/U, TB/U dan BB/TB (p<0.01) pada ketiga kelompok rumah tangga (Ariefiani, 2009).
Kasus gizi buruk tertinggi di kota Makassar terdapat di Puskesmas
Kalukubodoa Kecamatan Tallo, dimana gizi buruk mencapai 8,5% dan gizi kurang sebanyak 19,17%, sedangkan kasus gizi buruk terendah di Kota Makassar terdapat di
Puskesmas Tarakan Kecamatan Wajo dimana gizi buruk mencapai 1,71% dan gizi
kurang 7,91% (Dinkes Kota Makassar, 2011).
Dari data yang diperoleh dari Puskesmas
Kalukubodoa Kecamatan Tallo tahun 2010, persentase gizi buruk pada balita untuk
Kelurahan Pannampu mencapai 59 balita atau 4,57% dan persentase balita gizi
kurang mencapai 167 balita atau 12,94 % dari 1290 balita yang ada di wilayah
tersebut. Kelurahan Pannampu merupakan kelurahan yang memiliki persentase
kejadian balita gizi buruk tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Kalukubodoa (Dinkes Kota Makassar, 2011). Sedangkan pada tahun 2011, diperoleh data status gizi balita kurang dan
sangat kurang menurut indikator BB/U masing – masing adalah (150 dan 66
balita), kurus dan sangat kurus menurut BB/TB masing – masing adalah (49 dan 16
balita), pendek dan sangat pendek menurut TB/U masing – masing adalah (19 dan
16 balita).Berdasarkan data tersebut ingin diketahui
tentang ketahanan pangan rumah
tangga dan status gizi balita di Puskesmas Kaluku Bodoa Kelurahan Kalukubodoa
Kecamatan Tallo Kota Makassar tahun 2012.
Download Bab I-III Lengkap - Klik Disini
Download Jurnal Lengkap - Klik Disini
Download Bab I-III Lengkap - Klik Disini
Download Jurnal Lengkap - Klik Disini
0 komentar:
Posting Komentar